Cibinong, Humas LIPI. LIPI mencatat jumlah sivitas purnabhakti Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI) pada tahun 2020 adalah 181 sivitas dan pada tahun 2021 sebanyak
126 sivitas. Maka dari itu, sosialisasi dan pelatihan dari para pakar LIPI sangat
diperlukan sebagai bekal masa senja mereka. Pembekalan tentang budidaya lele menggunakan
teknologi bioflok salah satunya. Teknologi ini banyak diminati karena banyak memiliki
keunggulan jika dibandingkan dengan budidaya ikan secara konvensional.
“Budidaya yang kami presentasikan berbeda dengan ternak ikan lele pada umumnya,
karena budidaya ikan lele menggunakan teknologi bioflok memanfaatkan konsorsium
mikroba yang ada di air sehingga mempunyai banyak keunggulan,” terang Kepala Pusat
Penelitian Limnologi LIPI, Fauzan Ali saat membuka webinar Sosialisasi, Diseminasi,
dan Pelatihan IPTEK bagi Pegawai Purnabhakti LIPI 2020 -2021 sesi ke-2 pada Jumat
(12/11).
“Keunggulan pertama adalah hemat air. Selama pembudidayan tidak perlu mengganti
air karena air akan diolah secara terus menerus oleh konsorsium mikroba sehingga
air tetap bersih walaupun secara penampilan air tidak jernih yaitu warnanya kecoklatan
akibat dari terdapat banyak mikroba. Pakan yang tersisa serta kotoran ikan yang
biasanya membuat air menjadi kotor akan diolah dan menjadi makanan oleh mikroba.
Jadi, bioflok tidak menghasilkan limbah karena diolah terus menerus oleh mikroba,”
jelasnya.
Menurutnya, keunggulan lainnya adalah hemat pakan khususnya untuk benih usia
yang baru ditebar, selain pakan yang ditebar, mikroba juga dapat menjadi pakan.
“Pembuatan budidaya dengan sistem ini juga tidak sulit, asalkan kita dapat mengikuti
tahap demi tahap, bagaimana membuat kolam, bagaimana membuat media bioflok, bagaiaman
menyeleksi benih, hingga bagaimana cara memanen,” ungkap Fauzan.“Selain itu, kami
juga mengemas teknologi pembuatan kolam bioflok dengan sederhana
dalam bentuk video agar mempermudah kita di masa pandemi yang sulit ini,” tambahnya.
Sementara itu, Gunawan, perekayasa Pusat Penelitian Limnologi LIPI menyatakan,
budidaya lele menggunakan teknologi bioflok dapat menggunakan kolam terpal. “Kelebihan
dari kolam terpal diantaranya, biaya investasi yang lebih murah, dapat diaplikasikan
pada lahan yang terbatas, bentuk dan ukuran dapat dibuat sesuai ketersediaan lahan,
operasional yang lebih mudah, seperti monitoring, kontrol kedalaman dan kualitas
air, serta proses panen lebih cepat, efektif, dan praktis,” ungkapnya. “Selain
itu, dapat ditempatkan dimana saja seperti di halaman rumah, di garasi,
dan di teras yang penting menambah keindahan dan sekaligus dapat menjadi hiasan,”
imbuh Gunawan.
Peneliti Pusat Penelitian Limnologi LIPI, Nina Hermayani Sadi mengungkapkan,
sejatinya bioflok adalah gumpalan yang terdiri dari bakteri filamen, koloni bakteri,
bahan-bahan sisa pakan, dan alga. “Komponen inilah yang menyusun sistem bioflok.
Ini merupakan lingkungan mikro yang memberi keuntungan pada bioflok tersebut.
Ada rantai makanan dalam sistem tersebut, dimana bakteri menjadi makanan dari
protozoa dan hasil perombakan dari bakteri akan dimanfaatkan oleh alga. Protozoa
dan alga adalah pakan alami untuk ikan, selain berperan sebagai pendegradasi bahan
organik polutan bioflok, mereka juga berpotensi sebagai bahan pakan ikan,” ungkapnya.
Menurut Nina, tampilan bioflok tergantung dari komposisi dari ketiga komponen
tersebut. “Untuk sistem perikanan lele cenderung berwara coklat kemerahan karena
yang dominan bakteri heterotrof,” paparnya.
Sementara itu, Djamhuriyah S. Said, peneliti Pusat Penelitian Limnologi LIPI
menyatakan alasan memilih ikan lele sebagai ikan budiaya untuk teknologi bioflok.
“Ikan lele merupakan salah satu sumber potein yang tinggi, kebutuhan tinggi, harganya
terjangkau, mudah dan cepat tumbuh, serta perputaran cepat karena permintaan pasar
relatif tinggi,” ungkapnya.
Di sisi lain, Dwi Febrianti peneliti Pusat Penelitian Limnologi LIPI mengungkapkan
manajemen kesehatan dalam budidaya ikan dengan teknologi bioflok. “Kecenderungan
global terhadap produk perikanan budidaya menuntut persyaratan empat sehat yaitu,
sehat lingkungan budidaya, sehat proses produksi selama pemeliharan, sehat ikan,
dan sehat produk dari budidayanya,” tegasnya.
Dirinya menjelaskan, penyakit ikan perlu dikendalikan, karena air atau lingkungan
akuatik merupakan ekosistem yang sangat dinamis dan sangat cepat berubah. “Perubahan
itu dapat berlangsung dalam waktu singkat dan menimbulkan efek yang luar biasa.
Sehingga menyebabkan interaksi yang tidak seimbang pada kunci utama kesuksesan
budidaya. Kunci utama tersebut adalah kualitas lingkungan, inang yaitu ikan, patogen
yang mungkin dapat muncul selama budidaya,” jelasnya.
“Pencegahan penyakit dalam kegiatan budidaya berbasis teknologi bioflok dapat
dilakukan dengan cara, menyediakan sumber air bersih, sanitasi ruangan, desinfeksi
wadah, dan peralatan budidaya, memperhatikan padat penebaran. Kemudian, penyediaan
dan penyimpanan pakan, sumber karbon atau molase dan inokulan bioflok yang bebas
patogen. Selain itu, tidak menggunakan bahan atau inokulan jika terjadi perubahan
bau dan warna. Terakhir, memperhatikan kelembapan ruang penyimpanan, serta menggunakan
produk probiotik dari sumber terpercaya,” pungkasnya.(sf ed sl)